Rotasi market dan siklus market itu cukup sulit dipelajari, karena biasanya belajar dari pengalaman. Tidak selamanya saham selalu naik. Umumnya memang saham dalam jangka panjang (>10 tahun) akan selalu cenderung naik harganya. Namun dalam jangka singkat, market sangat volatile, sehingga akan terjadi koreksi setiap habis kenaikan drastis. Market crash kecil akan terjadi setiap 2-3 tahun (biasanya IHSG turun di 10-15%). Dan market crash besar akan terjadi setiap 5-10 tahun sekali (IHSG bisa turun hingga 30-35%). Rata-rata di 7 tahun sekali. Maka dari itu, membutuhkan mindset kuat dan kemampuan memanfaatkan kesempatan disini. Jual saham ketika dia berbalik arah turun, dan belilah ketika harganya sudah murah (buy the dip) dan mulai beranjak naik lagi. Ketika market sedang euforia, semua naik, kita harus mulai waspada. Ketika market sedang depresi, maka itu saat tepat untuk mulai membeli.
Benjamin Graham berkata bahwa Market pada jangka pendek adalah voting machine, namun dalam jangka panjang adalah weighing machine. Fokuslah pada jangka panjang, karena semakin pendek timeframe kamu, kamu hanyalah seperti bermain di kasino, hanya bandar (the house) dan yang jago (experienced) yang menang. Pemula? Biasanya berakhir tidak bahagia.
Sahambagger.com hadir untuk memberikan kamu pondasi kemampuan fundamental (safety net, long-term investing) dan technical analysis agar memiliki statistical edge dalam mengerti market jangka pendek menengah. Ini membuat kamu lebih versatile dan mampu membaca market dan perusahaan dengan baik.
Pertanyaan kamu mungkin seperti ini: jika kita fokus pada fundamental dan kinerja, kenapa harus mengetahui cara membaca market, emosional market, maupun jangka pendek dan menengah juga?
Memang jika fokus pada kinerja dan long-term (pada saham berfundamental bagus), Investor yang gagal jumlahnya mendekati 0. Namun perlu diketahui bahwa Mr. Market juga memiliki mood swing; dari yang Greedy dan Euphoria hingga Fear dan Depression. Hal ini disebabkan banyaknya pelaku pasar, berbagai suntikan berita media dan perubahan dinamis dari kondisi ekonomi. Walaupun kamu fokus pada long-term view, apabila market saat ini sedang dalam fase puncak Euphoria (dan menuju krisis), Investor yang kurang berpengalaman akan jatuh terjerumus terlebih dahulu pada jurang Depression (seperti COVID tahun 2020).
Bagi yang masih memiliki amunisi dan cash pada Maret 2020, akan menemukan banyak sekali opportunity untuk dibeli karena semua saham harganya murah. Namun bagi yang tidak berhasil melihat market swing, hanya akan gigit jari saja karena sudah all-in pada fase puncak Euphoria dan hanya bisa berharap BEP. Kemampuan membaca market ditambah Money management maupun Portfolio management yang baik dapat menghindarkan Investor dari drawdown (floating loss) besar dan berkepanjangan, sehingga meningkatkan return tahunannya. Resiko dalam saham tergantung kemampuan dari si pembelinya: bisa menjadi high-risk bisa menjadi low-risk.
[restrict level=”notlogin,free”]
[elementor-template id=”9636″]
[/restrict]
[restrict level=”vip6,vip12,vip24″]
Dipopulerkannya Value Investing oleh Benjamin Graham pada sekitar 1930-ish, membuat sebuah terobosan besar pada dunia investing. Setiap saham memiliki fair value nya, dan membeli dibawah fair value akan memberikan margin-of-safety yang menyelamatkan seseorang dari sebuah financial risk membeli terlalu mahal, maupun termakan euphoria emotional sesaat. Moment ketika tidak ada lagi yang mau membeli lebih mahal daripada harga yang kamu bayarkan (atau market tawarkan), maka strong reversal akan terjadi. Disinilah titik dimana tingkat kelogisan seorang Investor dipertanyakan. Apakah sebuah koreksi ini hanyalah koreksi sehat menuju big run berikutnya, ataukah harga nya memang sudah abnormally high sehingga ini adalah titik pembalikan arah? Dimana “koreksi sehat” ini akan semakin terkoreksi menjadi sebuah bearish trend?
Seperti inilah konsep Margin of Safety (MoS) dari Value Investing:
Sebuah perusahaan memiliki intrinsic value (fair value) dimana nilainya sangat subjektif bagi tiap Investor. Ada yang menghitungnya menggunakan future EPS x fair PER (yang didapatkan dari common sense ataupun comparison terhadap peers nya), atau bisa juga dari PEG ratio (perbandingan antara kenaikan CAGR EPS vs PER nya, dipopulerkan oleh Peter Lynch), atau juga dengan menghitung future cashflow nya dengan DCF (Discounted Cashflow). Kita juga tidak tahu kapan sebuah perusahaan mencapai fair value nya, maka dari itu kita fokus pada hanya membeli ketika saham tersebut punya MoS cukup lebar. Value Investing didasarkan pada membeli saham paling no-brainer / sangat murah dan kita bisa yakin bahwa di masa depan fair value nya akan tercapai dengan beberapa justifikasi: misalnya GCG / managementnya baik, EPS nya bisa konsisten growth, secara fundamental tidak tiba-tiba hancur (misal karena cyclical). Resiko dari Value Investing adalah Drawdown (floating loss) yang bisa berkepanjangan. Maka dari itu untuk sukses, diperlukan kesabaran yang tinggi. Karena apresiasi harga dari Buy zone ke Sell zone sooner or later akan tercapai:
Bagaimana dengan Momentum Investing? Pada dasarnya Momentum Investing menggabungkan Good fundamental (Value, Growth) dengan Momentum factor. Momentum ini bisa didasarkan dari kuatnya interest / demand pelaku pasar terhadap suatu saham ataupun sebuah sektor. Misalnya Sektor A sedang manggung dikarenakan Sectoral rotation dan improvement dari laba, atau juga secara Macro economy membaik di salah satu jenis sektor. Dengan momentum investing, kita dapat meminimalisir waktu tunggu (atau big drawdown / floating loss seperti di Value Investing) dan memaksimalkan return tahunan. Namun akan memiliki jumlah trade (jual dan beli) per tahun lebih banyak dibandingkan Value Investing. Wajar, karena Momentum Investing bisa dibilang seperti Swing trading tapi fokus pada saham saham dengan perbaikan fundamental yang baik dan menghasilkan positive momentum.
Untuk bisa memaksimalkan risk-adjusted return kita, Investor harus memiliki kemampuan membaca story dari sector rotation. Artinya Investor selayaknya mengerti ‘apa sih yang sedang hot saat ini, dan apa sih yang sektor yang kira2 akan manggung habis ini’. Dan tentunya memilah mana story yang beneran impactful, mana yang hanya noise. Contohnya noise: Investasi kendaraan EV sedang hot, belilah saham2 seperti SLIS yang jualan motor listrik. Ini bisa dikategorikan noise karena masih rumor dan EV itu masih cukup jauh, sementara impact nya ke Indonesia tidak langsung kelihatan. Contoh yang bukan noise: Data Gaikindo Q1 2023 menunjukkan kenaikan penjualan mobil, dan isu de-dollarization (beneran kejadian karena banyak negara sudah confirmed mau mengurangi penggunaan USD, berimpact pada DXY (dollar strength) menurun, dan IDR membaik). Artinya dari data2 ini bisa dipastikan saham2 yang langsung berhubungan dengan import kendaraan maupun yang rugi kurs selama 2022 akan terkena impact positif.
Saat post ini dibuat di Mei 2023, saya melihat bahwa energy sudah turun dan akan terjadi rotasi sektor ke finance, cyclical consumer dan non-cyclical consumer, misalnya automotive hingga specialty retails. Kenapa finance? Karena saya punya view bahwa dengan inflasi tinggi, otomatis suku bunga BI7DRR akan tinggi dan memaksa bank meningkatkan suku bunga nya juga. Ini akan meningkatkan profit margin karena bank punya ruang cukup besar untuk mengambil keuntungan disini (bunga dipinjamkan ke nasabah dikurangi cost of fund nya). Untuk automotive seperti yang dijelaskan diatas bahwa penjualan mobil sudah meningkat mungkin efek juga peningkatan UMR, daya beli, dan kelas menengah keatas yang kebal inflasi.
Ngomong-ngomong kebal inflasi, SES (socio-economic status) AB dengan pendapatan diatas UMR pastinya tidak terlalu masalah terhadap harga2 raw material yang naik, pun juga daya beli mereka tidak akan terlalu terganggu. Hal ini menjadi nilai positif bagi perusahaan yang produknya fokus pada SES AB. Contohnya seperti MAPA yang menyasar segment konsumer aktif kelas menengah keatas dengan high-moat brands seperti Nike, Foot Locker, Sketcher, Adidas etc; hingga ACES yang memang cukup premium dalam penyediaan barang rumah tangganya. Justru perusahaan yang fokus pada kelas menengah kebawah akan kurang diuntungkan di inflasi tinggi karena daya beli mereka yang masih tertekan. Contohnya BTPS (fokus pada ibu-ibu unbankable), RALS LPPF (jualan baju baju mall). Lalu ketika suatu saat nanti inflasi sudah turun, apa saham2 yang diuntungkan? Tentu saja yang punya hutang bunga berbunga, dan perusahaan yang memerlukan cheap money (suntikan dana dengan bunga rendah) seperti pada sektor technology, konstruksi, hingga property. Maka ketika FED confirmed menurunkan suku bunga, carilah saham terbaik pada sektor2 tersebut; mereka akan jadi leader pada sector rotation berikutnya.
Gambar dibawah ini perbandingan sektor IDXENERGY vs IDXCYCLIC dan IDXNONCYCLIC, terlihat adanya perubahan momentum dalam 1 bulan terakhir (April – May 2023). Outlook sektor konsumer justru berpotensi menguat dalam 6-12 bulan ke depan. Berbagai lembaga memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih cepat di 2024 dibandingkan dengan 2023, yang akan ditopang oleh peningkatan pembelanjaan konsumsi. Potensi peningkatan konsumsi itu sendiri dilandasi oleh beberapa hal: 1) inflasi yang semakin menurun; 2) penyelenggaraan pemilu serentak 2024 (dengan skala yang lebih besar dari edisi-edisi sebelumnya); 3) kelanjutan pemulihan sektor pariwisata. Dari tesis awal kita, dan konfirmasi chart disini, tentu kita tau saham apa yang sebaiknya mulai kita cari-cari?
Gunakan SB Compass Screener untuk memulai filter2 saham berpotensial: www.sahambagger.com/compass
Dengan mengetahui story yang sedang berlangsung maupun yang akan berlangsung, kita bisa kira-kira dan mencari saham apa yang sekiranya akan diuntungkan. Ketika sebuah sektor / saham ternyata bisa bertahan di kondisi sulit, apalagi punya Moat dan growth yang luar biasa (above expectation), maka harga sahamnya akan diapresiasi. Otomatis Momentum nya akan meningkat, dan sebagai Momentum Investor kita juga akan diuntungkan atas naiknya portfolio kita.
[/restrict]
Momentum Stock Investor since 2017. S1 ITB (Indonesia), S2 YU (South Korea).