Ketika berbicara saham property, ada dua saham property yang muncul di top-of-mind saya dimana dua saham ini kita sangat mengetahui bahwa kualitas perusahaanya bagus, terus bertumbuh, dan harganya masih cukup murah. Kalau ada yang bilang PANI, saya tidak menyalahkan karena dengan skema backdoor, aset yang begitu besar (PIK 2), kualitas premium dan momentum yang sangat baik tentu dia pemenangnya di tahun 2023. Tapi kita tidak sedang membicarakan PANI, harganya sudah mulai priced-in terhadap besarnya. Saya ingin membedah sebuah saham yang sudah ada sejak lebih dari 10 tahun lalu dan termasuk salah satu developer ternama Indonesia: SMRA dan BSDE.
SMRA dan BSDE masuk dalam top of mind saya, masing-masing punya cerita nya. Sebelum kita masuk lebih dalam, kita lihat sekilas secara helicopter view antara kedua saham ini; bagaimana 5 factor investing nya pada laporan keuangan Q3 2023 ini.
Growth SMRA vs BSDE
Sebagai seorang Momentum Investor, saya sangat suka sebuah perusahaan yang bisa konsisten bertumbuh (growth). Walaupun BSDE revenue nya positif growth, SMRA bottom line growth nya luar biasa tinggi. Net Income (TTM) SMRA sudah hampir 2x dari peak 2019. Dimana BSDE net income (TTM) nya baru saja menembus peak 2019. Overall keduanya sangatlah bagus growth nya di 2023 ini.
Satu hal lagi dimana SMRA book value nya growth 4x dibandingkan BSDE yang hanya 1.5x. Nilai buku yang naik tinggi menujukkan seberapa cepat sebuah perusahaan membangun asetnya. Melihat portfolio growth dari SMRA dan banyaknya project yang dilakukan dalam 3 tahun terakhir, saya tidak kaget. Harga saham yang tidak terlalu terapresiasi membuat PBV nya turun dari yang sebelumnya overvalue di 2x pada peak valuation di 2021 dan 2.6x pada peak earning di 2019. Coba lihat gambar dibawah ini, betapa cepatnya PBV SMRA turun dari PBV 2x ke 1x (-50%) hanya dalam 2 tahun sementara BSDE dari 0.9x ke 0.6x (-33%). SMRA menang dari sisi kemampuan earning dan asset growth.
[restrict level=”notlogin,free”]
[elementor-template id=”9636″]
[/restrict]
[restrict level=”vip6,vip12,vip24″]
Financial strength SMRA vs BSDE
Seperti yang diungkapkan Rusmin Ang dalam bukunya Value Investing In Growth Companies, kunci dari growth stock yang sukses adalah financial strength nya serta gearing rationya. Growth stock biasanya memiliki hutang (debt) lebih besar dibandingkan saham sejenis. Kuncinya terletak di seberapa efektif perusahaan tersebut menggunakan hutangnya.
SMRA dan BSDE keduanya adalah perusahaan yang sehat dan aman karena memiliki DER < 100% dan interest coverage > 2. Namun BSDE lebih kuat secara kekuatan finansial. Rasio cash dan debt 1, artinya hutangnya bisa langsung dilunasi dengan DER di 0.42. Sementara SMRA lebih baik improvement pada current ratio dan cashflow nya, dimana terlihat dari Piotroski F-Score nya 8. Piotroski membuat scoring system untuk melihat improvement dan kualitas perusahaan, semakin tinggi nilai nya (maks 9) maka semakin baik improvement nya. Tapi tidak serta merta membuat scoring rendah itu jelek. Good number adalah diatas 5, biasanya saham dengan Piotroski diatas 5 akan outperform saham dengan score dibawah 5. Hal ini sudah pernah saya backtesting. BSDE menang secara financial strength, SMRA menang secara financial improvement
Profitability SMRA vs BSDE
Profitability yang tinggi menunjukkan kekuatan dan Moat perusahaan. Sebagai penyedia hunian eksklusif BSDE memiliki margin lebih tinggi karena penjualannya didominasi oleh property development dibandingkan SMRA yang memiliki portfolio lebih beragam (mall, leisure dkk).
SMRA memang memiliki ROE lebih tinggi karena leverage yang lebih tinggi. Berdasarkan Dupont Analysis: ROE = ROA x NPM x Financial Leverage. Dengan FL yang tinggi, SMRA bisa mengungguli profitability BSDE walaupun NPM BSDE 2x dari SMRA.
Sementara ROA nya BSDE lebih tinggi dibandingkan SMRA adalah kekuatan dari BSDE. Walaupun SMRA total assetnya naik jauh lebih kencang dibandingkan BSDE (sehingga membuat ROA nya lebih kecil), asset yang dimiliki BSDE memiliki selisih asset value lebih mahal. Pencatatan asset di laporan keuangan menggunakan nilai awal akuisisi, dimana tentu harga tanah murah tahun 2010-2015 jelas sudah naik signifikan dibandingkan saat ini. Hal ini bisa kita lihat menggunakan RNAV. Saya lampirkan data 2022 lalu dari DBS, dimana RNAV BSDE 3,500 (-71% discount), dan RNAV SMRA 1,724 (-65% discount). Total asset BSDE lebih dari 2x SMRA dimana dengan valuasi RNAV lebih murah akan bisa menghasilkan total return lebih baik. Dari sisi profitability saya rasa tipis bedanya, namun BSDE mengungguli SMRA karena ROE tipis bedanya dengan FL yang terbatas dan discount to RNAV lebih baik.
Value SMRA vs BSDE
Kalo bicara Value Investing tentu bicara mana perusahaan paling murah entah itu secara PER, PBV, DCF, hingga RNAV nya. Jika di compare head to head BSDE menang telak. BSDE dengan PER 6x dan PBV 0.6x serta cash sebanyak itu jelas perusahaan aman untuk di invest. Namun SMRA mengungguli dari segi P/S, P/OCF, dan P/FCF menunjukkan bahwa secara earning power SMRA lebih powerful. Ibarat kata BSDE ini murah banget namun earning nya okelah. Kalo SMRA ibarat earning oke banget, tapi valuasi oke lah.
Dengan DCF didapatkan Fair value BSDE kisaran 1500-1600, dimana kisaran PBV 1x (wajar), untuk SMRA fair value di 670-782, dimana kisaran PBV 1.2x (wajar).
SMRA mengalahkan BSDE jika dicompare dengan historicalnya. SMRA valuasinya dulu overvalue, sekarang fair. BSDE dulu fair, sekarang undervalue. Pilih mana?
Momentum SMRA vs BSDE
Ada dua cara menghitung momentum: pertama menggunakan kuantifikasi dari price difference (paling efektif di 6M price movement dan 12M price movement), kedua menggunakan technical analysis. Justru jika dilihat BSDE jauh lebih diapresiasi dibandingkan SMRA dalam 6 dan 12 bulan terakhir jika menggunakan cara pertama. Bagaimana dengan technical analysisnya?
Earning BSDE sedikit diatas 2019, maka secara historical jika kita asumsikan bisa ke high 2019 (harga 1600) maka ada potensi upside sebesar 45-50% dari harga saat ini. Dimana sangat in line dengan fair value nya. Sementara SMRA earning nya sudah setara 2013 dimana peak price nya ada di 1330, maka jika bisa diapresiasi sama akan memberikan upside sebesar 120%. Ini setara dengan PBV 2.2x. Pertanyaannya apakah bisa diapresiasi se ‘overvalue’ dulu? Secara konservatif target pertama adalah high 2021 di 1300 maka ada upside potential sebesar 25%. Namun satu alasan saya memilih SMRA karena market cap nya juga 1/2 dari BSDE dan terdapat foreign net buy selama 1 bulan terakhir (October – November) berbeda dengan BSDE yang foreign net sell. Namun memasukkan kedua BSDE dan SMRA juga tidak masalah. Keduanya berada pada koin sama di dua sisi berbeda. Secara valuasi BSDE murah! Kalau kamu sabar menunggu hingga BSDE diapresiasi dan di unlock value nya, BSDE adalah low-risk investment choice karena dari factor investing analysis, BSDE mengungguli SMRA di 4 dari 5 factor investing yakni value, profitability (non-leveraged), momentum dan financial strength. Oke juga ya BSDE.
Future growth potential SMRA
BSDE adalah investasi yang aman. Namun saya justru lumayan tertarik buat ngulik SMRA. Dia lebih punya growth potential yang menarik dibandingkan BSDE karena memiliki portfolio yang cukup beragam dengan investment property sebagai income source terbesar kedua (26%) dimana ini adalah beberapa mall Summarecon. Seperti Summarecon Mall Bekasi (SMB) memiliki occupancy rate tertinggi di Jabodetabek yakni diatas 95%. Dan inilah wajar kenapa PWON dan SMRA valuasinya cenderung lebih tinggi. Mall gaperlu siklus, tiap orang (asal ga COVID) mau sekedar makan dan nyari udara seger juga ke mall. Ibarat kata kalo ngebut pake motor lebih risky soalnya badannya lebih ramping tapi lebih bisa cepet sampainya, mungkin itu SMRA.
Mari kita fokus bedah SMRA dari 2019-2023. SMRA di Q3 2023 revenue Naik 6% QoQ serta Revenue 9M23 sudah diatas FY2020 dengan harga low yang sama. Liabilitas kontrak 9M23 sudah naik 28% vs 2022. Padahal jika revenue ANZ23 hanya naik 18% vs FY22. Artinya ada kemungkinan 4Q23 revenue diatas 3Q23 dan membuat revenue FY23 ATH. Marketing Sales di 6M23 1.6T; di 10M23 di 3.3T (2x hanya 4 bulan), dan management optimis target 5T tercapai FY23.
Ketika kita compare 2019 vs 2023, market cap sudah turun -61% namun net cash sudah naik 2x menunjukkan bahwa dalam 4 tahun ini financial strength SMRA jauh menguat dengan valuasi yang membaik. SMRA tidak pernah valuasi serendah ini kecuali covid 2020, namun revenue dan liabilitas kontrak 9M > FY2020. DER walaupun lebih tinggi dari BSDE namun sudah turun 1/2 nya dibandingkan 2019. Menarik bukan? Cek pertumbuhannya dan improvement nya di table bawah ini:
Pada artikel property sebelumnya saya sudah katakan bahwa liabilitas kontrak jangka pendek bisa menunjukkan korelasi pada revenue 1 tahun depan. Ketika kita lihat bahwa di 2023 ini liabilitas kontrak naik tajam, menunjukkan bahwa di Q4 2023 hingga Q3 2024 ini akan ada tambahan revenue lagi, dimana artinya PER nya akan lebih murah. Di Gambar kanan ditunjukkan bahwa semakin turun valuasinya, earning yield (EBIT/EV) makin tinggi, menunjukkan bahwa SMRA adalah perusahaan sehat, bukan valuasi turun karena memang memburuk fundamentalnya.
Di Q4 2023 – Q1 2024 SMRA akan membuka Summarecon Villaggio Jakarta Outlet, La Piazza dan Summarecon Mall Bandung. Management juga yakin bahwa target marketing sales 5T akan dicapai di 2023FY dengan flush out beberapa project yang sudah berjalan saat ini seperti Summarecon Crown, Karawang, dan Bandung. Adanya insentif PPN dan chance tinggi untuk turunnya suku bunga di 2024 juga bisa membantu. Pertanyaannya adalah apakah memang demand untuk property sudah kembali?
Memang uncertainty cukup besar faktornya dalam tipe saham cyclical begini. Namun saya pribadi akan mulai masuk di both BSDE dan SMRA sambil melihat perkembangan marketing salesnya dan momentum nya yang dapat dilihat dari indeksnya (IDXPROP).
[/restrict]
Momentum Stock Investor since 2017. S1 ITB (Indonesia), S2 YU (South Korea).
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.