PT. Telkom Indonesia, Tbk (Telkom) adalah perusahaan milik negara yang beroperasi di sektor layanan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta jaringan telekomunikasi di Indonesia. Telkom menawarkan berbagai layanan komunikasi, termasuk interkoneksi jaringan telepon, multimedia, data, dan layanan internet, sewa transponder satelit, sirkuit langganan, televisi berbayar, serta layanan VoIP. Telkom menguasai lebih dari 60% pangsa pasar broadband di Indonesia, melayani lebih dari 19 juta pelanggan. Berdiri pada tahun 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1991, sejarah Telkom berawal pada tahun 1882 sebagai perusahaan swasta yang menyediakan layanan pos dan telegraf. Pada tahun 1961, status perusahaan berubah menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel). Kemudian, pada tahun 1965, PN Postel dibagi menjadi Perusahaan Negara Pos dan Giro (PN Pos & Giro) dan Perusahaan Negara Telekomunikasi (PN Telekomunikasi).
Telkom melakukan penawaran saham perdana pada tahun 1995 dan sejak itu sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta & Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia). Selain di Indonesia, saham Telkom juga diperdagangkan di Bursa Efek New York dan Bursa Efek London. Pemerintah Republik Indonesia memegang saham mayoritas sebesar 52.09%, sementara 47.91% sisanya dimiliki oleh publik. Saham Telkom tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode “TLKM” dan di New York Stock Exchange (NYSE) dengan kode “TLK”.
Sankey diagram TLKM dan overview income statement TLKM
TLKM memiliki bisnis utama nya di mobile (telepon dan internet) sebesar 60%. Namun ternyata segment ini walaupun masih menjadi segment utama, hampir tidak bertumbuh sama sekali karena penetrasi di Indonesia sudah cukup kuat. Sejak 2017 ke 2023, mobile segment stuck di angka 80 ~ 90 T revenue per tahun. Justru yang masih berkembang adalah segment enterprise dan international business sejak 2021. Jadi saya melihat seperti ini bisa dibilang TLKM mulai di fase slow growth, karena simply, marketnya sudah terlalu besar (dan recurring) sehingga TLKM perlu mulai merambah market lain untuk bisa tumbuh. Beberapa inisiatif mulai dilakukan TLKM yang mulai terlihat ketika COVID melanda dan kebutuhan akan internet dan teknologi meningkat.
Namun per 2021 pun juga adjusment and eliminationnya meningkat drastis. Apa ini? Ternyata TLKM menerapkan PSAK 65 dalam laporan keuangan konsolidasinya dibuktikan dalam imbalan kontinjensi diklasifikasikan sebagai ekuitas atau liabilitas keuangan.
Jumlah yang diklasifikasikan sebagai liabilitas keuangan selanjutnya diukur kembali pada nilai wajar dimana perubahan pada nilai wajar tersebut diakui dalam laba rugi atau ketika penyesuaian dicatat diluar periode pengukuran.
TLKM ada melakukan investasi ke beberapa entitas, dan salah satu yang terbaru adalah GOTO. Sementara dengan nilai valuasi GOTO yang terus turun, TLKM mencatatkan unrealized profit di investasinya.
Walau revenue dan net income terus bertumbuh, namun setelah 2020 net income TLKM stabil di 20 ~ 24 T. Yang sedikit warning adalah peningkatan debt yang signifikan dari 2018 namun dengan level cash yang stabil di 20 ~ 30 T. Per 2023, hutang sudah 2x diatas cash, diatas ini debt ini bisa berbahaya jika bunga yang dibayarkan cukup tinggi.
Di LK FY2023, terlihat bahwa ada ~20 T hutang yang harus dilunasi di 2024 (jangka pendek dan jangka panjang yang akan segera jatuh tempo). Untuk sisanya hutang jangka panjang, paling banyak dari BCA dengan bunga 6.75 ~ 6.8% p.a., rate yang cukup oke. Namun dengan Free cashflow, FCF (TTM) dari TLKM di level 30 T, maka hampir semua akan habis untuk membayar hutang, menyisakan ~10 T yang bisa masuk ke cash. Inilah kenapa level cash TLKM cukup stagnant.
Namun, hal ini memang harus dilakukan. Kenapa? Karena seperti yang dijelaskan diawal tadi bahwa TLKM ini slow growth. TLKM harus berusaha invest dan mengembangkan revenue source lain, sehingga bisa naik level ke Stalwarts (growth > 10% paling tidak). Saat ini pertumbuhan net income hanya di 6% CAGR.
Kondisi bisnis TLKM dan strategy management
PT Telkom Indonesia (TLKM) mencatatkan hasil yang beragam di kuartal pertama tahun 2024. Di satu sisi, pendapatan perusahaan meningkat 3,7% dari tahun ke tahun menjadi Rp 37,4 triliun. Kenaikan ini terutama didorong oleh pertumbuhan di segmen Data, Internet & Layanan TI (11,3%), Interkoneksi (16,0%), dan Jaringan & Telekomunikasi Lainnya (20,9%).
Namun, di sisi lain, laba bersih TLKM mengalami penurunan 5,8% dari tahun ke tahun menjadi Rp 6,1 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh kenaikan beban operasional perusahaan.
Meskipun laba bersih turun, prospek TLKM di tahun 2024 terlihat positif. Pendapatan diprediksikan naik 5,2% dan laba bersih diprediksikan naik 10,3%. Pertumbuhan ini diprediksikan akan didorong oleh segmen Data, Internet & Layanan TI dan Jaringan & Telekomunikasi Lainnya yang terus bertumbuh.
Yang cukup concerning disini adalah konsistensi penurunan ARPU (average revenue per user) pada segment IndiHome diakibatkan effort yang diberikan TLKM dalam acquisition. Sehingga subscriber IndiHome terus meningkat. Management mengatakan bahwa hal ini tidak perlu menjadi concern karena memang ini adalah strategy TLKM dalam penetrasi market baru, yakni FMC (fixed mobile contigency). Setelah strategy “bakar uang” FMC selesai, FMC bisa memberikan growth tambahan dimasa depan.
Ternyata FMC ini memang menjadi trend di dunia saat ini. Apa itu FMC?
Yakni konektivitas tanpa batas, dimana cukup punya 1 akses dan bisa tersambung dengan berbagai jenis layanan TLKM. Misalnya pengguna IndiHome, bisa akses Wifi.ID dimanapun (bandara, stasiun, tempat umum) dan koneksi melalui paket data mobile phone maupun line lainnya.
Selain itu, kontributor utama pertumbuhan TLKM adalah Telkomsel, anak perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi seluler. Telkomsel mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 32,7% dan laba bersih yang stabil (+0,9%). Pertumbuhan Telkomsel didorong oleh dua faktor utama:
- Bisnis digital Telkomsel yang kian berkembang pesat.
- Akuisisi IndiHome B2C dari TLKM.
Telkomsel diprediksikan akan terus tumbuh di tahun 2024, dengan pendapatan yang diprediksikan meningkat 16% YoY. Faktor pendorongnya adalah:
- ARPU (Rata-rata Pendapatan per Pengguna) yang kuat.
- Basis pelanggan yang terus berkembang.
- Inisiatif layanan FMC (Fixed-Mobile Convergence) yang menggabungkan layanan internet tetap dan seluler.
Secara keseluruhan, kinerja TLKM di kuartal 1 2024 menunjukkan hasil yang beragam. Meskipun laba bersih turun, pendapatan dan prospek masa depan perusahaan terlihat positif. Telkomsel, anak perusahaan TLKM, diprediksikan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan perusahaan di tahun 2024.
Telkomsel juga menciptakan produk baru yang terkenal. Telkomsel baru saja meluncurkan bernama Telkomsel Lite pada bulan Februari 2024. Produk ini langsung menjadi perbincangan karena harganya yang murah, mulai dari Rp 25.000 sampai Rp 90.000. Jujur saya sendiri kaget, Telkomsel yang biasanya premium, harga paketnya bisa lebih murah dari XL yang berada di level sama. Namun, kehadiran Telkomsel Lite memicu kekhawatiran. Banyak yang takut produk ini akan menggerogoti penjualan produk Telkomsel lainnya, by.U, dan menurunkan pendapatan rata-rata per pengguna Telkomsel secara keseluruhan.
Terkait kekhawatiran tersebut, Telkomsel optimis Telkomsel Lite akan membawa dampak positif. Telkomsel Lite dirancang khusus untuk target pengguna tertentu dengan paket data yang fokus di area tertentu. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir persaingan antar produk Telkomsel sendiri, terutama di Pulau Jawa. Sementara itu, by.U akan tetap menyasar pelanggan muda.
Secara keseluruhan, Telkomsel Lite dan by.U diharapkan mampu menarik lebih banyak pelanggan untuk menggunakan IndiHome, layanan internet rumah Telkomsel yang terintegrasi dengan layanan ponsel mereka. Para pengamat optimis strategi Telkomsel ini akan membawa mereka ke gerbang kesuksesan yang lebih besar di masa depan.
Tantangan bisnis baru: Starlink
Salah satu pesaing baru TLKM di Indonesia adalah Starlink, layanan internet satelit yang dioperasikan oleh SpaceX. Baru-baru ini, Starlink mendapatkan izin untuk menyediakan layanan internet melalui satelit VSAT (Very-Small-Aperture Terminal) di Indonesia. Hal ini menimbulkan perdebatan di pasar mengenai dampaknya terhadap perusahaan telekomunikasi lokal. Namun, menurut kami, kehadiran Starlink tidak akan menjadi ancaman langsung bagi penyedia layanan broadband yang sudah ada dalam beberapa tahun ke depan. Sebaliknya, Starlink akan lebih berfungsi sebagai pelengkap.
Starlink menggunakan satelit LEO (Low-Earth Orbit), yang membuka peluang kemitraan yang menguntungkan dengan perusahaan ISP lokal seperti TLKM (Telkom Indonesia). Walaupun TLKM memiliki jaringan luas di seluruh Indonesia, mereka masih menghadapi tantangan dalam membangun infrastruktur di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau karena Indonesia terdiri dari banyak pulau. Kami melihat di negara-negara lain di mana Starlink beroperasi, kehadiran mereka justru memberikan manfaat bagi penyedia layanan lokal, bukan menjadi ancaman.
Harga paket internet Starlink cukup mahal dibandingkan layanan yang ada. Paket Starlink dimulai dari IDR750 ribu per bulan dengan biaya awal perangkat keras sekitar IDR 4.7 juta, sedangkan paket IndiHome (layanan internet TLKM) mulai dari IDR 350 ribu per bulan. Kami perkirakan harga ini tidak akan turun dalam waktu dekat karena biaya tinggi untuk meluncurkan dan mengoperasikan satelit LEO. Oleh karena itu, kami yakin bahwa paket Starlink akan kurang diminati di daerah yang sudah memiliki penyedia konektivitas lain, terutama fiber optic, yang menawarkan harga lebih terjangkau dan layanan yang baik.
Kita bikin hitung-hitungan simple saja: setahun harus keluar 13.7 juta untuk perangkat keras dan biaya bulanan Starlink. UMR rerata daerah di Indonesia paling besar kisaran 3 juta / bulan atau 36 juta / tahun. Starlink akan membebani 38% dari UMR dan ini sangat tinggi untuk sebuah solusi konektivitas di daerah terpencil. Penggunanya rata-rata akan sangat niche ke businessman maupun pekerja remote / outsource di perusahaan pertambangan (misalnya) ataupun government agency yang butuh mobilitas tinggi ke site. Selain itu, Indihome (dan fiber optic lain) masih jauh lebih menarik.
Valuasi yang makin murah: Peluang Menarik bagi Value Investors?
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, terlihat bahwa pendapatan (revenue) mengalami tren kenaikan yang konsisten setiap tahunnya, diiringi dengan laba bersih (net income) yang positif 6% CAGR. Di sisi lain, Price-to-Book Value (PBV) perusahaan menunjukkan tren penurunan tiap tahunnya yang sejalan dengan turunnya return on equity (ROE) juga. Saat ini valuasi menyentuh all-time-low (ATL).
Bagi investor nilai (value investors), penurunan PBV ini dapat menjadi peluang investasi yang menarik. Jika fundamental perusahaan tetap kuat dan pertumbuhan laba diprediksikan akan berlanjut, penurunan PBV dapat mengindikasikan bahwa saham perusahaan tersebut menjadi lebih murah dalam hal valuasi.
Secara standar PBV-ROE, umumnya PBV 2x idealnya memiliki ROE 20%. Namun bisa juga PBV lebih mahal dibandingkan ROE nya diakibatkan beberapa hal: (1) Potensi growth masa depan, (2) Kepercayaan investor pada management, seperti yang ada di BBCA
TLKM adalah market leader, blue chip, dan profitable. Dengan ROE saat ini di 17% dengan PBV 2.0 membuat saya rasa saat ini harganya fair (tidak mahal). Di tahun-tahun sebelum 2023 bisa saya bilang TLKM mahal. Inilah yang terjadi jika sebuah perusahaan bagus growth nya sudah mentok (melambat), resiko yang terjadi adalah “justifikasi” baru terhadap valuasi yang sesuai dengan growth nya. Inilah kenapa saya kurang sreg untuk membeli saham-saham seperti BBCA.
Saat ini TLKM sedang struggle membalikkan arah perusahaan ke level stalwart dengan berbagai inisiatifnya. Ini adalah hal positif menurut saya. Namun artinya, kita perlu betting bahwa management bisa sukses di 1-2 tahun kemudian. Lalu apa safety net kita?
Dividend yield yang menarik, diatas rata-rata!
Dengan DPR di level 70 ~ 80%, dan ekspektasi EPS 2024 di 250 maka DPS minimum ada di 175. Dengan harga saat ini di 2900, nilai ini setara dengan dividend yield sebesar 175 / 2900 = 6%. Saya coba bandingkan PBV dengan dividend yield. Dalam 5 tahun terakhir, ketika PBV drop dan memberikan yield tinggi ada di 2020, 2021, dan 2024 ini. Tentu jelas ini adalah opportunity karena rerata dividend yield TLKM sering kali di 4%.
Kesimpulannya, berdasarkan analisis keuangan perusahaan, terlihat bahwa terdapat peluang menarik bagi investor nilai untuk berinvestasi di perusahaan ini. Penurunan PBV, diiringi dengan fundamental perusahaan yang kuat dan pertumbuhan laba yang masih positif walaupun single digit, menawarkan opportunity.
Potential yield = Business growth + dividend yield + valuation expansion
Potential yield = 6% + 6% + (tergantung suksesnya strategy management) = 12%++
Apa itu valuation expansion? Terkadang beberapa saham dihargai jauh lebih mahal dibandingkan peers nya dan “fair value” nya. Hal ini didasarkan jika ada fundamental yang sangat membaik (growth, profitability) maupun momentum yang kuat (bandar masuk, kepentingn sekelompok orang).
Kenapa saya tidak bilang saja potensi kembali ke mean PBV 3x dari PBV 2x, dimana artinya ada upside potential sebesar 50%? Kita tidak bisa menjustifikasi secara asal bahwa TLKM bisa kembali ke mean valuationnya yang “biasanya mahal” jika saat ini growth nya sedang tertekan dengan ROE yang perlahan menurun trend tahunannya. Jika quarter2 berikut nya TLKM bisa menghasilkan earning lebih baik dengan ARPU yang membaik, maka otomatis ROE akan kembali meningkat, dan valuation expansion bisa kita expect.
Jika tidak? Saya rasa resiko nya tidak terlalu besar, karena jika sebuah rumah tangga sudah menggunakan nomor telepon dan ISP provider untuk internetnya, jarang sekali berpindah ke operator lain kecuali masalah biaya dan service yang buruk. Satu resiko paling besar terhadap Indihome adalah munculnya banyak ISP lain yang berkualitas misalnya XL Home. First Media pun juga mengalami upgrade di tahun lalu. Maupun beberapa ISP lokal lain seperti MyRepublic dajn ICONNET yang lebih murah.
Technical analysis TLKM
Walau saya kurang sreg dengan bisnisnya, saya tidak bisa bilang hal yan sama dengan technical analysisnya. Ini sangat menarik karena harga sahamnya yang drop ke level demand zone tahunan yang sangat kuat di 2500-2900. Harga saham TLKM drop ke level ini hanya siklus 5 tahunan, pertama di 2014-2015 dimana saat ini masih stalwarts (growth double digit), lalu ketika COVID (2020, wajarlah), terakhir di 2024 ini.
Tentu ini kesempatan, let’s say kamu meresikokan 15% dari harga 2900, cutloss dibawah 2500 untuk potential reward 1:2 ke 3800an. Maka kamu punya max upside di 30% + dividend 6%, yakni 36%, yang seharusnya bisa dicapai jika fundamental TLKM tidak tambah buruk dari saat ini dan net income masih growth. Di harga 3400an ada gap, ini bisa menjadi target pertama untuk technical bounce up.
Bagi yang sudah punya dan masih ada spare untuk di resikokan? Zona 2500 – 2900 ini bisa menjadi area average down. Per hari ini, 1 June 2024, terbentuk hammer candle stick pada timeframe weekly, dan zona ini adalah demand zone / support kuat. Artinya apa? Minggu-mnggu depan punya “probability tinggi” untuk rebound. Tapi kita tidak tau sampai kapan. Beberapa waktu terakhir foreign outflow cukup kencang, karena itu TLKM juga tidak bisa push lebih tinggi.
Resiko fundamental TLKM “ada” karena sedang menghadapi problem market leader yang umum terjadi: kompetisi, namun safety net nya dari dividend yield dan technical entry yang baik sudah muncul, apakah jadi menarik buat kamu? Kembali lagi ke risk appetite dan metode investasi kamu ya.
Momentum Stock Investor since 2017. S1 ITB (Indonesia), S2 YU (South Korea).
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.